Tebuireng.org - Ada
pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya
konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan
oleh pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini jika
memang ada? Rangkaian pertanyaan diatas perlu diajukan disini, karena
dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak diajukan pemikiran tentang
Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan
pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.
Jawaban-jawaban diatas rangkaian
pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan
kata-kata : Tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup
(syari'ah) tidak memiliki konsep yang jelas tantang Negara. Mengapakah
Penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah
mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai
hari inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salahlah jika disimpulkan
memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan
dipertahanan.
Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya
pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang 2 hal. Pertama, Islam tidak
mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin.
Rosululloh Saw digantikan Sayyidina Abu bakar tiga hari setelah beliau
wafat. Selama masa itu masyarakat kaum Muslimin, minimal di Madinah,
menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu
dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwab Sayyidina Abu
Bakar-lah yang menggantikan Rosululloh Saw melalui Baiat/prasetia. Janji
itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan dengan
demikian terhindarlah kaum Muslimin dari malapetaka. Sayyidina Abu Bakar
sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin,
hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang
berarti telah ditempuh cara penunjukan pengganti, sebelum yang
digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukan wakil presiden oleh
seorang presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar ditikam Abu Lu'luah dan
berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan
pemilih (electoral college - ahl halli wa al aqdli), yang terdiri dari
tujuh orang, termasuk anaknya, Abdulloh, yang tidak boleh dipilih
menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat
Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk
selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Tholib. Pada saat itu,
Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan
diatas, sebagai pengganti Ali bin Abi Tholib. Lahirlah dengan demikian,
sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon
raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/Ottoman empire
yang oleh para "Islam Politik" dianggap sebagai prototype pemerintahan
harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah "formula Islami".
Demikian pula, besarnya negara yang
dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan
Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum
Muslimin. Dimasa Umar bin Khottob, Islam adalah imperium dunia dari
pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan
juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa
saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara -bangsa (Nation-state),
ataukah Negara kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Dalam hal ini, Islam menjadi seperti
komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah
negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, ataukah
menunggu sampai seluruh dunia di - Islamkan, baru dipikirkan bentuk
negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah yang
didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky? Sudah
tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga
membunuh Trotsky di Meksiko.
Hal ini menjadi sangat penting, karena
mengemukakan gagasan Negara Islam tanpa kejelasan kenseptualnya, berarti
membiarkan gagasan tersebut tercabik-cabik karena perbedaan pandangan
para pemimpin Islam sendiri. Misalnya kemelut di Iran, antara para
"pemimpin moderat" seperti Presiden Khatami dengan para Mullah
konservatif seperti Khameini, saat ini. Satu-satunya hal yang mereka
sepakati adalah nama "Islam" itu sendiri. Mungkin, mereka juga
berselisih paham tentang "jenis" Islam yang akan diterapkan dalam negara
tersebut, haruskah Islam Syi'ah atau sesuatu yang lebih "universal" ?
Kalau harus mengikuti faham Syi'ah itu, bukankah gagasan Negara Islam
lalu menjadi millik kelompok minoritas belaka? Bukankah Syi'isme hanya
menjadi pandangan satu dari delapan orang Muslim didunia saja??
Jelaslah dengan dimikian, gagasan Negara
Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh
mayoritas kaum Muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang
pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya
belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana
halnya dengan mereka yang menolak gagasan tersebut, adakah mereka masih
layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yang menolak justru
adalah mayoritas penganut agama tersebut?
Kalau diteruskan dengan sebuah
pertanyaan lain, akan menjadi berantakanlah gagasan tersebut, dengan
cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan "menghukum"
kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang
mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah
penulis disebut kaum teroris, padahal ia sangat menentang penggunaan
kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga
harus bertanggungjwab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi
teroris itu??
Sumber : Kompas, 18 April 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar