Senin, 03 September 2012

Negara Islam, Adakah Konsepnya?

Tebuireng.org - Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang ada? Rangkaian pertanyaan diatas perlu diajukan disini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.
Jawaban-jawaban diatas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata : Tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari'ah) tidak memiliki konsep yang jelas tantang Negara. Mengapakah Penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahanan.
Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang 2 hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rosululloh Saw digantikan Sayyidina Abu bakar tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum Muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwab Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rosululloh Saw melalui Baiat/prasetia. Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan dengan demikian terhindarlah kaum Muslimin dari malapetaka. Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukan wakil presiden oleh seorang presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar ditikam Abu Lu'luah dan berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih (electoral college - ahl halli wa al aqdli), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdulloh, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Tholib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan diatas, sebagai pengganti Ali bin Abi Tholib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/Ottoman empire yang oleh para "Islam Politik" dianggap sebagai prototype pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah "formula Islami".
Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum Muslimin. Dimasa Umar bin Khottob, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara -bangsa (Nation-state), ataukah Negara kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai seluruh dunia di - Islamkan, baru dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky? Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.
Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukakan gagasan Negara Islam tanpa kejelasan kenseptualnya, berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik-cabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya kemelut di Iran, antara para "pemimpin moderat" seperti Presiden Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khameini, saat ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati adalah nama "Islam" itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang "jenis" Islam yang akan diterapkan dalam negara tersebut, haruskah Islam Syi'ah atau sesuatu yang lebih "universal" ? Kalau harus mengikuti faham Syi'ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi millik kelompok minoritas belaka? Bukankah Syi'isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang Muslim didunia saja??
Jelaslah dengan dimikian, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum Muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan tersebut, adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yang menolak justru adalah mayoritas penganut agama tersebut?
Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakanlah gagasan tersebut, dengan cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan "menghukum" kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sangat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjwab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu??

Sumber : Kompas, 18 April 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar