Tebuireng.org - Sebagai
objek sastra, pesantren boleh dikata belum memperoleh perhatian dari
para sastrawan kita, padahal banyak di antara mereka yang telah
mengenyam kehidupan pesantren. Hanya Djamil Suherman yang pernah
melakukan penggarapan di bidang ini, dalam serangkaian cerita pendek di
tahun-tahun lima puluhan dan enam puluhan. Juga Mohammad Radjab, sedikit
banyak telah menggambarkan tradisi hidup bersurau di kampung, dalam
otobiografinya yang berjudul Semasa Kecil di Kampung. Walaupun demikian,
karya dua orang penulis itu belum lagi dapat dikatakan berhasil
mengungkapkan hidup kejiwaan di pesantren. Paling banyak karya mereka
baru memantulkan nostalgia akan masa bahagia yang mereka alami semasa
kecil dalam lingkungan pesantren.
Yang ironis, justru sebuah karya pendek
yang berhasil menampilkan permasalahan kejiwaan pesantren. Karya itu
adalah cerpen Robohnya Surau Kami, oleh A.A. Navis. Permasalahan cerpen
ini, yaitu fatalisme yang melanda kehidupan beragama, adalah
permasalahan tipikal pesantren. Walaupun latar belakang sosial yang
disoroti adalah kehidupan kampung yang "biasa", tetapi jelas sekali
cerpen ini dipengaruhi corak kehidupan surau/pesantren di Sumatera
Barat.
Sebaliknya, karya HAMKA Di Bawah
Lindungan Ka'bah, justru tidak mengungkapkan kehidupan kejiwaan
pesantren. Walaupun yang dikemukakan adalah cerita berlatar belakang
kehidupan agama, tetapi tema pokoknya tidaklah demikian. Tema itu adalah
mengenai kegagalan cinta dan usaha mengataasinya, dengan cara
mengasingkan diri di Makah. Tema pengorbanan cinta adalah tema umum
kemanusiaan, apa pun juga latar belakangnya. Dalam hal ini, karya HAMKA
tersebut mengingatkan kita pada pengorbanan tokoh utama karya Andre
Gide, La Porte Etroite. Dalam karya ini, tokoh Alissa mengorbankan cinta
dengan jalan menjadi seorang biarawati.
Abstraksi-abstraksi yang Sukar Difiktifkan
Mengapakah sdikit sekali kehidupan
pesantren digambarkan dalam kesusastraan kita? Ada beberapa sebab yang
dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, karena
persoalan dramatis di pesantren berlangsung pada "taraf terminologis"
yang tinggi tingkatannya. Soal abstrak seperti determinasi, (al-jabru),
free destination, (iradah), intensitas ketundukan kepada Tuhan, dan
sebagainya, sukar sekali dituangkan sebuah cerita fiktif.
Kedua, karena masih kakunya pandangan
masyarakat kita terhadap manifestasi kehidupan beragama di kehidupan
kita. Oleh Nurcholis Madjid pandangan ini dinamai sakralisme agama.
Dengan demikian, naluri sastra dan elastisitas bentuk penceritaan tidak
memperoleh jalan pelepasan. Kita masih ingat akan reaksi sangat keras
terhadap Ki Pandji Kusmin, Langit Makin Mendung, beberapa tahun yang
lalu.
Desakralisasi
Jika proses desakralisasi kehidupan
beragama telah jauh berlangsung, sebenarnya manifestasi kehidupan
beragama dapat menjadi medium sastra yang unik. G. K. Chesterton,
misalnya, telah menyajikan kepada kita rangkaian kisah seorang pendeta
detektif, Father Brown. Walaupun karya ini tidak dapat dianggap sebagai
karya sastra yang serius, tetapi minimal ia telah telah menunjukkan
betapa uniknya kehidupan bergama sebagai medium sastra.
Pada umumnya, medium yang digunakan
adalah satire, seperti rangkaian novel Giovanni Guareschi di Italia pada
tahun-tahun lima puluhan. Karya Guareschi itu melukiskan suka duka
seorang pendeta kampung yang turut campur soal-soal politik lokal. Tokoh
pendeta-politikus Don Carmillo ini begitu menarik perhatian, sehingga
karya Guareschi tersebut terkenal tidak hanya di Italia saja, bahkan
telah menjadi epik modern yang setara dengan ketenaran karya klasik
Jaroslav Hasek, Serdadu Baik si Schweik.
Pada waktu Lurah Don Peppone, seorang
komunis, tampaknya akan memperoleh kemenangan dalam sebuah pemilihan
lokal, Don Carmillo menghadap pada patung salib Yesus di altar gereja
boboknya. Menolak permintaan Don Carmillo agar Ia menyelamatkan kampung
itu dari bahaya komunis, Yesus menjawab bahwa urusan politik bukan
urusannya! Mungkinkah satire seperti ini diterbitkan di negeri kita
dewasa ini, dengan tidak menerbitkan gelombang reaksi yang hebat?
Jangan Satire
Salah satu jalan untuk mengatasi
kekurangan penggarapan materi pesantren dalam kesusastraan kita, adalah
dengan mencari persoalan dramatis yang tidak mengarah pada bentuk
satire. Dalam hal ini dapat dikemukakan contoh berupa karya seorang
penulis Yahudi Amerika, Dr. Chaim Potok.
Potok menceritakan pergulatan Hari,
seorang pemuda Yahudi dari sekte ortodoks, yang mempunyai seorang ayah
rabbi terkemuka. Rabbi itu, dengan penderitaan luar biasa, harus
melarikan diri dari Rusia dan pindah ke New York. Dalam kedegilan hati
yang luar biasa, ia menentang setiap usaha untuk mengadaptasi hukum
agama Yuda pada kehidupan modern.
Keagungan kepribadiannya digambarkan
dengan sangat mengena oleh Potok: ketundukannya yang penuh pada ajaran
agama, kejujurannya untuk membela nilai-nilai yang dijunjungnya tinggi,
kasih sayangnya kepada jemaat yang dipimpinnya, dan kekerasan hatinya
untuk melawan setiap "bujukan" untuk berkompromi dengan kehidupan modern
di Amerika. Dalam dua karyanya, The Chosen dan The Promise, Potok
menyajikan pergulatan yang khusus bersangkutan dengan sikap hidup
beragama, secara serius dan penuh kecintaan.
Dalam karyanya yang ketiga, My Name is
Asheerlev, diceritakan seorang pemimpin Yahudi dari sekte kolot, yang
mempunyai seorang anak genius yang berbakat melukis. Padahal lingkungan
sektenya tidak memperkenankan penuangan bentuk makhluk hidup ke dalam
lukisan. Secara dramatis diperlihatkan bagaimana penderitaan batin sang
ayah yang terjepit antara tugasnya kepada masyarakat, dan antara bakat
anaknya yang begitu luar biasa.
Karena teknik penceritaan, pengetahuan
bahasa, dan keindahan sastra yang bertaraf tinggi, drama tersebut
menjadi sangat menarik perhatian bagi pembacanya. Pada pokoknya, Potok
berhasil mengungkapkan dilema keagamaan yang universal bagi kita semua:
bagaimana harus mempertemukan ketundukan pada nilai agama dengan
kebutuhan hidup modern ini.
Potok mencapai hasilnya yang gemilang
itu, dengan pujian dari para kritikus sastra yang terkemuka, karena ia
menguasai persoalan yang digarapnya. Jelas dari ketiga karyanya itu
bahwa ia mengalami sendiri kemelut yang digambarkannya. Dengan demikian,
pesan yang hendak disampaikannya kepada pembaca tampak penuh kejujuran,
bukannya gambaran tentang sesuatu sentimen murahan yang digarap secara
cengeng.
Kalau ada juga sastrawan kita yang
merasa terpanggil untuk menggarap kehidupan pesantren sebagai objek
sastra nantinya, terlebih dahulu harus diyakininya persoalan-persoalan
dramatis yang akan dikemukakannya. Tanpa penguasaan penuh, hasilnya
hanyalah akan berisi kedangkalan pandangan belaka.
* Artikel ini ditulis oleh KH. Abdurrahman Wahid dan dimuat dalam harian Kompas, 26 November 1973.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar